-->
Setiap bertugas ke Kuala Lumpur, saya selalu menempatkan
diri di Hotel The Kuala Lumpur Journal. Bukan hotel mewah, nyaman, harga terjangkau
dan lokasi yang bagus.
Berada di Jalan Beremi, kawasan Bukit Bintang, hotel ini hanya
berjarak lima stasiun monorel dari kantor saya, dengan waktu tempuh kurang dari
tiga puluh menit.
Bukan hanya itu, kawasan ini terletak di daerah wisata
sehingga banyak hal tersedia dan bisa dicapai hanya dengan berjalan kaki. Mulai
dari pusat perbelanjaan, toko-toko tradisional hingga ratusan rumah makan.
Dari semua restoran yang ada di Jalan Sultan Ismail, ada
satu restoran yang paling menarik minat saya untuk mencoba, yakni restoran The
Ship. Penyebabnya tidak lain karena neon merah terang yang dipasang di depan
restoran, bertuliskan “The Best Steak in Town”.
Klaim yang cukup berani, memproklamirkan diri sebagai penyedia steak terbaik di seantero Kuala Lumpur. Benarkah di dalamnya saya bisa menikmati steak terenak di kota ini? Atau ini hanya klaim sepihak sebagai bagian dari taktik marketing murahan?
Hanya ada satu cara untuk memastikannya: Masuk ke dalam dan
mencobanya sendiri!
Saat masuk ke restoran ini, saya disambut oleh waiter yang
menggunakan seragam kapten kapal. Saat duduk saya memandang sekeliling dan baru
sadar, semua pekerja di tempat ini menggunakan seragam kapal laut. Dan
ternyata, dekorasi restoran ini juga dibuat serasa kita sedang makan malam di
dalam dek kapal!
Kesan pertama yang menyenangkan, membuat saya optimis akan
mendapat hidangan memuaskan kali ini.
Melihat-lihat gambar dalam menu, saya cukup tergoda untuk
mencoba bebebera diantaranya. Ternyata menunya tidak hanya daging tetapi juga
tersedia sea food platter, beraneka jenis ikan yang di-grilled, hingga lobster.
Tetapi saya masuk ke sini untuk mencoba menu yang membuat
restoran ini terkenal. Dan saya pun menunjuk Tenderloin Sizzling Steak dan
segelas Tiger Beer, meski sedikit gamang melihat harga yang tertera, di akhir
makan malam saya akan membayar sekitar 80 Ringgit Malaysia.
Dengan kurs saat tulisan ini dibuat 1 Ringgit Malaysia
adalah sekitar 3.100 rupiah, berarti makan malam kali ini sekitar 250.000
rupiah. Agak lebih besar dari standar gaya hidup saya, tetapi tidak apa karena
ini hanya sesekali saja, dan toh saya mengira-ngira di Jakarta pun kalau ingin
menikmati steak kelas satu, orang harus membayar harga yang lebih mahal dari
ini.
Dan memang ternyata it’s worth it! Saya memasang celemek
makan ketika sang kapten membawa pesanan saya, masih meletup-letup mendidih di
atas hot plate. Saya menunggu sebentar dan ketika perkiraan saya hidangan itu
sudah tidak terlalu panas saya mulai memotongnya.
Pisau saya dengan mudah memotong tenderloin itu karena
daging yang big and juicy ini sangat
lembut namun tak kehilangan teksturnya. Saat gigitan pertama hati saya merasa
senang. Dan meski tidak mungkin saya mencoba semua restoran steak di Kuala
Lumpur, kenikmatan daging ini membuat saya enggan membantah klaim mereka
sebagai the best steak in town.
Angkat topi buat sang chef yang tampaknya dituntut untuk
selalu perfeksionis dalam menyiapkan steak di restoran ini. Sebagai penggila
steak, saya mengetahui bahwa steak yang sedang saya lahap ini disiapkan secara
sempurna dari awal sampai akhir.
Dimulai dari bahan baku utamanya, daging, saya menyadari
bahwa mereka menggunakan daging yang berkualitas tinggi, segar berwarna merah
tua, dan jelas bukan daging yang di-stok di freezer dalam waktu lama kemudian
dikeluarkan saat akan dimasak.
Sebelum di-grilled, saya juga yakin chef meramunya dengan
bumbu-bumbu khusus karena itu terasa dalam setiap gigitan. Saya tidak bisa
mengira-ngira bumbu apa yang dipakai, biarlah itu terus menjadi resep rahasia
restoran The Ship, karena toh saya tidak berniat untuk membuka restoran steak
sendiri, yang jelas ramuannya berbeda rasa dengan yang dipakai resto steak
favorit saya di tanah air yakni Holycow atau bahkan Abuba. Saya tidak mau
membandingkan mana yang lebih enak, yang jelas ini adalah variasi yang
menyenangkan.
Saya juga mengira-ngira bahwa si jurumasak sangat disiplin
dalam melakukan hal-hal teknis, mulai dari besarnya api hingga waktu untuk
men-grillnya. Precised, tidak kurang dan tidak boleh lebih.
Sebagai penggila steak, makan malam kali ini cukup berkesan.
Menunggu bon sambil bersantai menghabiskan Tiger Beer dalam gelas, saya
menyadari kini saya punya agenda tetap tiap menunaikan tugas di Kuala Lumpur.
Mengunjungi The Ship, meski paling tidak dua hari setelahnya harus
pintar-pintar berhemat mencari tempat makan siang dan malam semurah mungkin